Cinta dan Benci Karena Allah

MENCINTAI DAN MEMBENCI SEGALA SESUATU KARENA ALLAH

Sobat gudang arab Sebagai bentuk ihtiar menetapkan iman dalam hati, kita belumlah beriman sampai Allah Azza wa Jalla dan Rassul-Nya lebih dicintai ketimbang diri kita sendiri. Sabda rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik, 

''Tidak beriman kamu sebelum Allah dan Rasul-Nya lebih kamu cintai dari siapa pun selain mereka.”

Saudaraku, Ketika mencintai sesuatu, maka kita tidak hanya diminta untuk mencintai apa-apa yang dicintainya melainkan juga harus tahu dan juga membenci apa-apa yang dibenci olehnya. Begitu juga ketika kita menyatakan bahwa diri kita mencintai Allah Azza wa Jalla, konsekuensinya adalah kita tidak hanya mencintai segala sesuatu yang Allah Azza wa Jalla cintai, tapi kita juga harus membenci segala sesuatu yang Allah Azza wa Jalla benci. Ada kaidah “tak kenal maka tak sayang”, maka kaidahnya adalah “tak kenal maka tak benci.”

Kita merenungi hal ini untuk menyadari bahwa hal-hal ini wajib kita benci dan kita jauhi. Syariat mengajarkan bahwa taat kepada Allah Azza wa Jalla itu semampunya ( fattaqullaha mastatha’tum_), namun dalam meninggalkan kebathilan ataupun hal-hal yang Allah Azza wa Jalla benci itu harus 100% karena kata "mastatha’tum"  tidak pernah mengiringi dalam perintah meninggalkan kebathilan...

Ternyata realitanya kita dapati banyak orang yang berhasil dalam mencintai apa-apa yang Allah Azza wa Jalla cintai, namun banyak yang gagal dalam membenci apa-apa yang Allah Azza wa Jalla benci. Padahal itu merupakan  konsekuensi dalam mencintai Allah Azza wa Jalla...

Saudaraku, Amar ma’ruf adalah mengajak pada kebaikan, sedangkan nahi munkar adalah melarang dari kemungkaran. Dua sifat ini telah dipuji dalam firman Allah Azza wa Jalla,

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf (kebaikan), dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)

Allah Azza wa Jalla juga mengingatkan dalam firman-Nya,

كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ

“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat.” (QS. Al Ma’idah: 79)

Saudaraku, Berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla di atas terlihat bahwasanya umat Islam ini bisa menjadi umat terbaik dengan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Namun dalam menyikapi amar ma’ruf nahi mungkar terdapat dua kelompok berlebihan dalam agama ini. Hal ini diutarakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya yang sangat berfaedah yaitu ‘Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar‘

Kelompok pertama, adalah kelompok yang meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar...

Kelompok kedua, adalah kelompok yang berlebihan dalam beramar ma’ruf nahi mungkar baik dengan lisan dan tangannya tanpa berlandaskan ilmu, kelembutan, sikap sabar dan tanpa menimbang _maslahat_ dan mudharat (bahaya), atau tanpa mau melihat apakah dia  berwenang melakukan hal itu atau tidak...

Dua kelompok yang telah disebutkan oleh Syaikhul Islam ini memang betul-betul ada di dalam masyarakat saat ini. Sebagian orang ada yang tidak mau beramar ma’ruf nahi mungkar. Prinsipnya yang penting kita bisa saling rukun, biarpun orang lain berbuat salah melakukan kezaliman demi kezaliman, korupsi, kolusi nepotisme, menghalalkan segala cara, berbuat culas dan curang, itu bukan urusan kita. Inilah pemikiran sebagian orang saat ini.

Sikap yang berlawanan dari hal tadi adalah orang-orang yang begitu bersemangat dalam beramar ma’ruf nahi mungkar, namun sayangnya kadang kelewat batas sampai dinilai anarkis. Kadang sampai mendatangi diskotik dan berbagai tempat maksiat, lalu memporak porandakannya. Inilah dua sikap berlebihan di tengah masyarakat saat ini mengenai amar ma’ruf nahi mungkar. Sikap yang benar adalah sikap pertengahan yaitu tetap melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, namun dengan memperhatikan beberapa aturan syariat yang ada...

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dia merubah hal itu dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi, hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan inilah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)

Saudaraku, Hadits Abu Sa’id ini menjelaskan mengenai tingkatan dalam mengingkari kemungkaran. Hadits ini juga menunjukkan bahwasanya barangsiapa yang mampu untuk merubah kemungkaran dengan tangannya, maka wajib dia menempuh cara itu. Namun perlu diperhatikan bahwa hal ini hanya boleh dilakukan oleh orang yang memiliki kewenangan terhadap orang yang berada di bawahnya dan bukan sembarang orang boleh merubah dengan tangannya...

Apabila seseorang bukan tergolong orang yang berwenang merubah kemungkaran dengan tangannya, maka kewajiban ini beralih dengan menggunakan lisan yang memang mampu dilakukannya. Kalau pun untuk itu tidak sanggup, maka dia tetap berkewajiban untuk merubahnya dengan hati dan inilah selemah-lemah iman. Merubah kemungkaran dengan hati adalah dengan cara membenci kemungkaran tersebut, tidak bergabung dengan circle kemungkaran.

(Fathul Qawil Matiin, Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr, pada hadits no. 34)

Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa mencintai dan membenci segala sesuatu karena Allah Azza wa Jalla untuk meraih ridha-Nya...

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url