Antara Cinta dan Benci

Cinta dan Benci di Jalan Ilahi: Refleksi Iman Sejati


Sobat gudang arab, Pernahkah kita merenung, seberapa dalam cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya? Iman sejati bukanlah sekadar pengakuan di lisan, melainkan sebuah totalitas di hati. 

Rasulullah ﷺ bersabda, 

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا

"Tidak beriman kamu sebelum Allah dan Rasul-Nya lebih kamu cintai dari siapa pun selain mereka." (HR. Bukhari dan Muslim). Ini bukan hanya tentang mencintai, tapi tentang menempatkan Allah dan Rasul-Nya di atas segalanya, bahkan di atas diri kita sendiri!

Lebih dari Sekadar Cinta: Membenci Apa yang Dibenci-Nya

Konsep cinta seringkali kita pahami secara parsial. Ketika kita mencintai seseorang, kita cenderung mencintai apa yang dicintainya. Namun, apakah kita juga memahami dan membenci apa yang dibencinya? Kaidah "tak kenal maka tak sayang" perlu dilengkapi dengan "tak kenal maka tak benci."

Inilah esensi cinta kita kepada Allah. Mencintai-Nya berarti tidak hanya mencintai segala yang dicintai-Nya, tetapi juga membenci segala yang dibenci-Nya. Syariat Islam mengajarkan kita untuk taat kepada Allah semampu kita (fattaqullaha mastatha’tum) dalam melaksanakan perintah-Nya. Namun, dalam menjauhi kebatilan dan hal-hal yang dibenci Allah, tidak ada kata "semampunya" – kita dituntut untuk meninggalkannya 100%!

Ironisnya, banyak di antara kita yang berhasil mencintai apa yang Allah cintai, namun seringkali gagal membenci apa yang Allah benci. Padahal, inilah konsekuensi tak terpisahkan dari cinta sejati kepada Sang Pencipta.

Jadilah Umat Terbaik: Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Allah berfirman, 

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf (kebaikan), dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran: 110). Ayat ini adalah pujian sekaligus panggilan untuk kita. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, siapa pun yang memiliki sifat amar ma’ruf (mengajak kepada kebaikan) dan nahi munkar (melarang kemungkaran) serta beriman kepada Allah, ia termasuk dalam pujian ini.

Sebaliknya, mereka yang abai terhadap amar ma'ruf nahi munkar, yang cenderung "rukun" meskipun melihat kezaliman, korupsi, nepotisme, atau segala bentuk kecurangan di depan mata, sejatinya menyerupai kaum ahli kitab yang dicela Allah:

 كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ

"Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat." (QS. Al Ma’idah: 79). 

Pemikiran "bukan urusan kita" ketika melihat kemungkaran merajalela adalah cerminan dari kelemahan iman yang berbahaya.

Tiga Tingkatan Mengingkari Kemungkaran: Jangan Diam!

Rasulullah ﷺ bersabda, 

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

"Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dia merubah hal itu dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi, hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan inilah selemah-lemah iman." (HR. Muslim no. 49).

Hadits ini adalah peta jalan kita dalam menghadapi kemungkaran. Mari kita pahami tingkatannya:

 * Dengan Tangan: Ini adalah tingkatan tertinggi, namun hanya boleh dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang. Ini bukan hak sembarang orang untuk bertindak sewenang-wenang.

 * Dengan Lisan: Jika tidak mampu dengan tangan, gunakan lisan kita untuk menyeru pada kebaikan dan melarang kemungkaran. Berikan nasihat, teguran, atau sampaikan kebenaran dengan hikmah.

 * Dengan Hati: Ini adalah tingkatan paling dasar, namun tetap wajib. Jika kedua cara di atas tidak memungkinkan, minimal kita harus membenci kemungkaran tersebut dalam hati dan tidak mendukungnya. Ingat, ini adalah selemah-lemah iman, bukan pilihan untuk berdiam diri.

Sobat gudang Arab, mari kita bermuhasabah. Apakah kita sudah mencintai dan membenci segala sesuatu semata-mata karena Allah? Semoga Allah menganugerahkan hidayah-Nya kepada kita, agar kita senantiasa istiqamah dalam meraih ridha-Nya.

Apa langkah nyata yang akan Anda ambil hari ini untuk lebih mencintai apa yang Allah cintai dan membenci apa yang Allah benci?

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url