Beratnya memperjuangkan Kejujuran
KEJUJURAN ADALAH JALAN SEPI YANG HARUS TERUS DIAJARKAN, DICONTOHKAN DAN DIPERJUANGKAN
Sobat gudang Arab, Musibah itu mengecil kalau dirahasiakan. Membesar jika dikeluh kesahkan. Terurai jika diadukan pada Allah Azza wa Jalla. Dan rumit jika diumbar pada manusia.
Bisa jadi ini cara Allah Azza wa Jalla mendewasakan kita. Jalani saja dengan ridha. Suatu saat kita akan melihat buah dari kesabaran kita.
Allah Azza wa Jalla mempergilirkan musibah dan nikmat, kesempitan dan kelapangan, kesedihan dan kegembiraan, kegagalan dan kesuksesan, kemiskinan dan kekayaan, kekalahan dan kemenangan dalam bioritme kehidupan kita.
Semua ini diberlakukan untuk mendinamisasi kehidupan, agar kita bisa belajar dari pengalaman hidup dan merasakan beragamnya keadaan. Sehingga kita menjadi pribadi yang matang, tangguh dan tegar di atas nilai-nilai kebenaran, bagaimanapun keadaannya.
Dalam dunia yang bergerak sangat cepat, di mana informasi beredar lebih cepat dari cahaya, kita sedang diuji: bukan sekadar pada apa yang kita ketahui, tapi pada bagaimana kita menyikapi apa yang kita ketahui. Isu-isu besar seperti dugaan ijazah palsu seorang tokoh publik bisa dengan mudah membelah opini, menciptakan dua kubu yang saling menuding dan mencurigai. Dalam pusaran inilah, kita ditantang untuk tidak sekadar mencetak manusia cerdas, tapi juga manusia jujur, adil, dan bijak dalam bertindak.
Di tengah godaan untuk “memoles citra“, “memanipulasi data“, atau “mencari aman“, kejujuran adalah jalan sepi yang harus terus diajarkan, dicontohkan, dan diperjuangkan oleh para pendidik. Karena pendidikan yang tidak berangkat dari kejujuran akan melahirkan generasi yang cerdas secara teknis, tetapi rapuh secara moral.
Sebaliknya, dusta atau kebohongan adalah awal kehancuran karakter. Ia mungkin terlihat sepele di permukaan, tapi seperti rayap yang menggerogoti fondasi bangunan. Dusta menghancurkan secara perlahan namun pasti. Satu kebohongan akan menuntut kebohongan lain untuk menutupinya, hingga akhirnya seseorang kehilangan arah dan identitas diri.
Dusta juga merupakan ciri utama orang munafik, sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: “Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia ingkar, dan jika dipercaya ia khianat.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Gagal dan sukses, kalah dan menang sudah menjadi _iradah_-Nya dalam kehidupan. Tapi yang paling penting tetap berada di jalur yang benar, jujur dan tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Islam, baik saat kalah atau menang, saat gagal atau sukses.
Dengan demikian, semua keadaan yang kita alami menjadi kebaikan bagi kita. Inilah keunggulan yang membedakan kita sebagai seorang Muslim dari orang lain. Bahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan kekaguman dan apresiasinya kepada sikap seperti ini dalam sabdanya,
" عَجِبْتُ لِلْمُؤْمِنِ ؛ إِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ ؛ حَمِدَ اللَّهَ وَشَكَرَ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ مُصِيبَةٌ ؛ حَمِدَ اللَّهَ وَصَبَرَ، فَالْمُؤْمِنُ يُؤْجَرُ فِي كُلِّ أَمْرِهِ، حَتَّى يُؤْجَرَ فِي اللُّقْمَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِهِ ".
“Saya kagum kepada orang Mukmin: Jika mendapat kebaikan, ia memuji Tuhannya dan bersyukur. Jika mendapat musibah, ia memuji Tuhannya dan bersabar. Orang Mukmin diberi pahala dalam semua urusannya, hingga diberi pahala pada suapan makanan yang diberikannya ke mulut istrinya”. (Musnad Ahmad, 1492)
Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa jujur dalam setiap keadaan untuk meraih ridha-Nya.
